SURABAYA – Awal Agustus silam, muncul gejolak politik internasional di wilayah Asia Timur karena Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi melakukan kunjungan ke Taiwan. Kunjungan tersebut dikutuk oleh Cina karena Amerika Serikat (AS) dianggap telah mencampuri urusan dalam negeri mereka. Perlu diketahui bahwa Cina dengan Taiwan memiliki hubungan yang tegang karena perbedaan konsensus historis atas siapa yang sebenarnya merupakan ‘Republik Cina’ pasca berakhirnya Perang Saudara Cina.
Untuk menilik dinamika kiwari antara ketiga negara tersebut, tim redaksi mewawancarai Dosen Hubungan Internasional UNAIR Safril Mubah, PhD. Safril menuturkan bahwa dalam relasi segitiga antara AS-Cina-Taiwan, kunjungan Pelosi ke Taiwan merupakan suatu hal biasa karena telah banyak contoh senator-senator AS yang berkunjung ke negeri tersebut. Satu hal yang tidak biasa disini adalah respon Cina, dimana mereka merasa bahwa Negeri Paman Sam melanggar kedaulatan teritori mereka.
“Ketegangan antara Taiwan dan Cina sudah puluhan tahun, jadi ini bukan krisis melainkan hanya status quo dalam hubungan mereka. Respon Cina yang ekstra ini ditanggapi oleh komunitas global seakan ini merupakan potensi menuju Perang Dunia ketiga, padahal aslinya itu biasa saja. Latihan militer Cina juga sudah berakhir beberapa hari lalu, begitu pula latihan militer Taiwan yang tentunya mereka waspada dengan presensi Cina, ” ujar alumni National Chengchi University itu pada Kamis (18/8/2022).
Dosen Hubungan Internasional UNAIR Safril Mubah, PhD. (Foto: Dok Pribadi)
Satu kesamaan yang melatarbelakangi kunjungan Pelosi ke Taiwan dan respon Cina adalah kapitalisasi politik domestik untuk AS, Cina, dan Taiwan. Safril mengatakan bahwa kelompok yang sedang berkuasa di ketiga negara tersebut sedang sama-sama akan mengahadapi pemilu, dan mereka akan mencari legitimasi pada konstituen di arena politik internasional.
Sekretaris Jenderal Partai Komunis sekaligus Presiden Cina Xi Jinping sedang berambisi untuk menyabet periode ketiganya dalam pada Kongres Partai di November nanti. Safril menuturkan bahwa pemimpin tiga periode ini belum pernah dilakukan sebelumnya di sana. Jadi respon tangan besi Xi pada kunjungan Pelosi pasti meningatkan popularitasnya pada publik yang tidak secara umum tak mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara.
“Begitu pula di Taiwan yang akan menggelar Pilkada pada awal November nanti. Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen yang merupakan kader Democratic Progressive Party tentu saja berupaya menggunakan kunjungan ini untuk meningkatkan popularitas partainya. Apalagi Taiwan ini butuh pengakuan internasional, karena ia hingga saat ini masih belum menjadi anggota tetap PBB karena secara teknis Taiwan bukanlah negara yang berdaulat, ” tutur Pakar HI di Asia Timur itu.
Begitu pula dengan Partai Demokrat, dimana Pelosi menjadi seorang kader. Safril mengatakan bahwa AS akan menggelar pemilu sela pada November ini, dimana konstituen akan memilih ⅓ dari total senator, gubernur, dan walikota di negara tersebut. Teori ini diperdebatkan, tetapi yang jelas bahwa Presiden Joe Biden, seorang Demokrat, sedang menggeluti problem inflasi tinggi sehingga butuh momentum lainnya untuk meningkatkan legitimasi partai.
“Yang jelas adalah Biden sengaja membiarkan Pelosi berkunjung ke Taiwan atas dasar haknya sebagai legislator. Ini juga menunjukkan bahwa AS tidak takut dengan Cina dalam kontestasi global, mengingat pada era Trump juga terjadi perang dagang antara kedua negara tersebut, ” tekan peneliti Cakra Studi Global Strategis itu.
Bila tidak ada eskalasi yang tak diduga, Safril mengatakan bahwa ketegangan ini berdampak relatif kecil pada komunitas global. Mungkin bakal ada ketidakpastian pasar, karena keengganan kapal kargo untuk melewati Laut Cina Selatan dan terhambatnya ekspor semikonduktor Taiwan ke berbagai penjuru dunia.
“Bagi masyarakat Indonesia, harus digarisbawahi bahwa ini hanya ketegangan biasa. Tapi jangan dibiarin juga, karena potensi eskalasi ini selalu ada. Harus digemborkan terus pesan-pesan deeskalasi, ” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan